Nur


                Nur.
                Begitu ia dipanggil. Tak pernah ia tahu nama lengkapnya. Hanya orang-orang memanggilnya begitu. Semua, tanpa terkecuali. Ia tak mengenal nama panggilan kesayangan. Kalau orang-orang bertanya nama sesuai KTP, ia akan menjawab Nur. Nur saja. Karena ia tak punya KTP. Kenapa ia tak punya KTP? Karena ia merasa tak perlu. Ia tak harus mengurus apapun yang membutuhkan KTP. Semua sudah ada yang mengurus. Semua yang ia butuhkan sudah ada. Pun ia tak perlu mengatakan apa yang dia inginkan. Semua ada. Semua lengkap. Semua tersedia. Apalagi mengurus KTP sekarang susah, berbelit-belit, harus urus surat ini surat itu. Harus datang ke rumah si A, rumah si B. Minta tanda tangan si C atau si D. Ah, ribet. Belum lagi berbasa basi tanya berapa uang administrasinya. Nur tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu. Toh dia juga bukan teroris. Nur cinta negeri ini.
                Ia tak pernah tahu asal usulnya. Siapa bapaknya, siapa ibunya, dimana adik kakaknya, sepupunya, nenek dan kakeknya, semua gelap. Darimana ia datang, dari daerah mana ia berasal, ia tak pernah tahu. Logat yang dia pakai pun sama seperti kebanyakan orang. Lugas, kadang vulgar, terus terang, blak-blak an, meskipun masih ada rasa sungkan kadang-kadang.  Ia hanya seorang diri. Tapi ia juga berpikir, tak mungkin dia muncul begitu saja. Seperti Tuhan Yesus yang lahir dari rahim wanita yang suci. Tak mungkin, Nur bukan Tuhan. Akibat dari tak punya siapa-siapa ini dia kadang kesepian. Tak ada saudara sedarah yang bisa diajak berbagi. Kalau ada yang bilang: tenang, masih ada teman-teman; cih, teman bukan saudara sedarah, pikir Nur. Teman ya teman. Titik tidak pakai koma. Terkadang Nur bahkan tak bisa membedakan yang mana teman sungguhan, yang mana teman jadi jadian. Mereka semua seperti pakai topeng. Topeng yang bibirnya lebar sekali sampai rasanya tersenyum seharian. Suara yang keluar terkadang amat manis sampai Nur ingin muntah rasanya. Tapi Nur pun juga menjadi teman bagi mereka. Hanya teman jadi jadian tentu saja. Nur juga punya topeng. Nur butuh topeng untuk menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Jadi, tak ada yang bisa menggantikan saudara sedarah kalau menurut Nur. Tidak juga teman, dan tidak juga topeng topeng itu.
                Usianya sekarang 21 tahun. Ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Nur tahu karena ada lilin berbentuk angka 21 di atas kue ulang tahunnya. Kue berwarna cokelat yang tinggi dan dihiasi buah kecil-kecil berwarna merah darah. Cherry, begitu kata asistennya. Nur tak suka. Ia lebih suka buah merah darah itu dihilangkan saja. Ia tak suka. Tapi Nur suka cokelat. Rasanya seksi, membuat Nur merasa terbang ke awan, dan membuatnya menagih. Oleh karena itu ia minta asistennya pesan satu lagi khusus untuk Nur. Tanpa buah merah darah itu. Pestanya meriah, banyak orang datang dengan topengnya masing-masing. Memberi selamat, berbasa-basi, kecup sana kecup sini, puji sana puji sini. Saling menjilat. Nur juga memakai topeng. Topeng yang paling cantik kata asisten dan penata riasnya. Nur memandangi topeng di cermin itu, dan dia melihat dewi di situ. Tinggi semampai dengan kaki panjang dan payudara yang penuh. Baju yang dipakainya memberi kesempatan tamu-tamunya untuk mengintip sedikit payudaranya.  Membiarkan para laki-laki meneguk ludah mereka sendiri dan para wanita berdecak kagum sekaligus iri. Pinggul yang berlekuk, bibir yang merekah, leher jenjang dan mata yang bulat. Ah, Nur meraba wajahnya sendiri. Ini tak berarti apa-apa. Toh ini hanya topeng. Topeng yang bisa menyembunyikan segala perasaannya. Tapi ada satu yang tak dapat ia sembunyikan. Kulitnya. Kulit yang berkilauan bagai berlian.
                Ya, namanya memang sesuai dengan penampakannya, dengan fisiknya. Nur, cahaya, melambangkan kulitnya. Kulitnya berkilauan. Makanya sehari-hari Nur lebih suka menggunakan jaket, lengan panjang, atau apapun untuk menutupi kulitnya. Ia tak ingin orang-orang memperhatikannya secara berlebihan. Bahkan wajahnya. Wajahnya juga berkilau. Ia tak membutuhkan pelembab, foundation, atau apalah itu namanya. Bahkan bedak yang harganya jutaan rupiah hadiah dari seorang penjilat pun tak ia pakai. Kulitnya sudah sempurna. Berkilau. Terlebih jika ditimpa cahaya lampu atau cahaya alami, matahari. Tadinya ia tak ingin orang lain tahu. Tapi, di dunianya, tembok pun bisa berbicara. Sudah menjadi rahasia umum kalau kulit Nur bisa berkilau. Kulitnya yang putih seakan bening bisa berkilau bagai berlian. Teman-teman topengnya sibuk memujinya, bertanya dimana mereka bisa membuat kulit mereka seperti Nur. Gadis gadis saingannya sibuk bergunjing. Katanya Nur memakai susuk. Susuk berlian! Bayangkan, Nur tertawa terbahak-bahak. Dasar orang iri, pikirnya.
                Hidupnya berkilau seperti kulitnya. Tarifnya paling tinggi diantara yang lainnya. Menemuinya harus melalui perjanjian, dan melalui tujuh lapis orang. Tempat tinggalnya tak diketahui. Orang yang ingin bertemu dengannya hanya menghubungi melalui asistennya. Itulah mengapa ia tak pernah punya hubungan pribadi dengan klien-kliennya. Untuk menjadi kliennya pun melalui proses seleksi ketat. Wawancara, dan rekomendasi dari klien terkuat. Sekali terdengar isu tak sedap, semua akses menuju Nur akan ditutup. Nomor teleponnya akan diblokir. Kabar itu akan dengan cepat tersebar di tujuh lapisan orang sehingga sama sekali Nur tak akan dapat digapainya lagi. Nur tak pernah tahu mengapa orang-orang di lingkungan paling dalamnya, bersusah payah menjaganya. Mengisolasinya dari orang-orang yang bisa membahayakan dirinya. Kemanapun Nur pergi, selalu ada satu lusin penjaga yang setia mengikutinya, kemanapun. Enam pria dan enam wanita. Mereka tak terlihat, tapi siap menerjang jika ada tanda bahaya. Seperti saat ada seorang anak kecil yang memberinya permen saat ia sedang berjalan-jalan di taman. Salah seorang penjaganya tiba-tiba muncul dan menyuruh anak kecil itu pergi. Permen yang sudah ditangan Nur diminta dan dibuangnya. Bisa beracun, katanya. Nur tak bisa berkata apa-apa saking terkejutnya. Shocked sehingga ia harus dipapah menuju mobilnya. Malamnya, Nur sesenggukan. Kalau sudah begitu, asistennya lah yang sibuk. Memijatnya, membuatkan minuman hangat, membuatnya nyaman.
                Nur mengerti, ia adalah asset. Orang-orang ini bisa memberi keluarga mereka makan karena Nur ada. Mati-matian mereka menjaga Nur agar roda kehidupan mereka tetap berputar. Agar anak-anak mereka bisa bertahan hidup. Bisa sekolah dan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi daripada orangtuanya. Nur merinding, betapa ada sedikit rasa syukur, hal yang dia lakukan saat ini bisa memberi kehidupan kepada banyak orang. Biarlah, biar topeng-topeng itu datang, biar topeng-topeng itu melakukan tugasnya. Biarlah perasaannya hanya dia yang tahu. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi apakah Tuhan mendengarnya? Ia tak pernah bersua dengan-Nya. Tak pernah berusaha dekat dan menemui-Nya. Ia hanya berbicara dengan-Nya saat akan tidur di malam hari, dimanapun dan dengan siapapun dia berada. Tak ada yang mengajari Nur mengenai Tuhan. Siapa itu Tuhan? Tinggal dimana? Apa yang Tuhan lakukan? Nur tak pernah tahu itu. Nur hanya tahu, Tuhan maha mendengar, dan maha melindungi. Jadi kepada-Nya lah Nur mengadu. Mencurahkan isi hatinya. Toh Nur tak pernah berbuat jahat. Ia tak pernah mencuri, atau membunuh. Ia tak pernah berbohong. Ia tak pernah menipu. Ia selalu berusaha untuk jujur, atau jika ia tak ingin menjawab, ia akan diam. Nur yakin Tuhan tahu kalau Nur sayang pada-Nya, hanya saja ia tak tahu caranya. Nur hanya melakukan dengan caranya sendiri.
                Malam ini Nur ada tamu spesial. Klien baru yang kuat. Hampir sama kuatnya dengan klien terkuatnya saat ini. Asistennya bilang jam delapan. Satu jam sebelumnya Nur sudah sampai. Suite room di hotel berbintang lima ini. Pemandangan kota sangat indah, lampu lampu berkilauan, sama seperti kulitnya yang terpapar sinar lampu kamar ini. Nur belum pernah mendengar tentang kliennya ini. Biasanya asistennya akan memberikan sedikit gambaran, tapi kali ini, bahkan asistennya pun tidak tahu apa-apa. Kliennya begitu rahasia. Sama sepertinya. Tapi semua klien sama saja, pikir Nur. Apa yang mereka inginkan sama saja. Dirinya.
                Nur duduk di depan meja rias. Rambutnya yang hitam legam ia biarkan tergerai hingga pinggang. Banyak orang bilang rambutnya punya kekuatan magis. Menyihir siapapun yang melihatnya. Menghipnotis siapapun yang menyentuhnya. Asistennya pernah menyuruhnya untuk merubah warna rambutnya, tapi Nur menolak. Ia tak suka. Segala mengenai dirinya hanya ia yang memutuskan. Maka ia rawat rambutnya hingga menjadi panjang dan indah. Semua kliennya menyukai rambutnya. Nur merapikan rambutnya sebentar, lalu bangkit, melepas seluruh gaunnya dan berganti dengan lingerie sutra berwarna putih. Itu permintaan kliennya. Lingerie itu sudah ada di kamar ini bahkan sebelum Nur datang. Lingerie yang simple dan anggun, bukan lingerie menggoda yang biasanya diminta oleh klien-kliennya yang lain. Ah, rupanya orang ini bukan tipe yang “haus”. Nur tersenyum simpul. Memulas bibirnya dengan lipstick merah muda. Bel berbunyi, Nur bergegas memakai kimononya dan mengintip. Tak ada siapapun. Ia membuka pintu sedikit, ah, ia memekik kecil. Ada mawar merah disitu. Tepat dibawah di depan kakinya. Tapi tak ada siapapun. Sebuah kertas kecil terselip. “tunggu aku, cahaya“, begitu bunyinya. Nur menutup pintu kembali dan menguncinya. Kimononya ia lepaskan lagi dan dengan senyum masih tersungging di bibirnya ia melemparkan tubuhnya ke sofa. Siapa klien barunya ini? Tak pernah ada sebelumnya yang seperti ini. Ia tak pernah ingin pakai hati. Lagipula siapa yang menginginkannya dengan tulus? Tak ada. Tak seorangpun. Nur menutup lagi hatinya rapat-rapat. Senyumnya menghilang dan dilemparkannya mawar itu ke tempat sampah. Sudah jam delapan kurang lima menit. Kliennya belum juga muncul. Lelah, Nur berbaring. Toh ia akan mendengar jika kliennya sudah datang, bel akan berbunyi.
***
                Nur sedang bersantai di halaman belakang rumahnya kala asistennya tergopoh-gopoh membawa berita. Kliennya seminggu yang lalu, membayarnya jauh lebih banyak daripada yang sudah tertera di dalam kontrak. Beserta bonus. Kotak-kotak cokelat berdatangan selama seminggu penuh. Nur heran darimana kliennya itu tahu ia pecinta cokelat. Semua cokelat itu ia berikan pada asistennya untuk dibagi-bagikan. Ia tak mau menerima. Juga dengan hadiahnya yang satu ini. Seuntai kalung berlian. Cantik, anggun, dan berkilau seperti kulitnya. “Buat kamu aja mbak….” Ujarnya. Asistennya sempat terdiam lama sekali. Sampai Nur harus mengulang perkatannya, baru dengan terbata-bata asistennya mengucapkan terima kasih berulang-ulang sampai dia menghilang dibalik pintu.
                Hasto. Begitu nama kliennya seminggu yang lalu. Klien yang berbeda dari yang lain. Nur terlelap sampai pagi di kamar hotel itu, dan begitu terbangun, ia mendapati Hasto juga tertidur di sampingnya. Dengan kaos dan celana pendek dan sikap tubuh yang begitu alami. Seketika Nur merindu akan keluarga. Tapi cepat ditepisnya perasaan itu. Cepat ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan merias diri secukupnya sebelum Hasto bangun. Perasaan bersalah menderanya karena ternyata kliennya memiliki kunci kamar hotel ini, dan ia bahkan tidak membangunkan Nur! Sungguh tak mudah dipercaya. Hasto membiarkannya tertidur dan bahkan ia ikut tidur di samping Nur, tanpa menyentuhnya sama sekali. Nur menunggu hingga Hasto membuka mata, tersadar dan mencari dirinya. Pertemuan pertamanya sungguh berkesan. Hasto memperlakukannya seperti seorang perempuan yang rapuh. Pelan dan berhati-hati. Penuh rasa hormat, dan Nur merasa dihargai karenanya. Nur sudah terbiasa untuk menjadi apapun yang diinginkan kliennya, tapi dengan Hasto, ia bisa menjadi dirinya sendiri.
                Ah, Nur tak mau berandai-andai. Tak mau berharap apapun. Tak mau berpikir macam-macam. Nur sudah belajar mengubur perasaan-perasaan itu sejak lama. Ia sudah belajar untuk selalu memberi, dan tak pernah mau menerima apa yang bukan menjadi haknya.
“Mbak Nur, Pak Hasto mau ketemu lagi, di tempat yang sama, nanti malam di jam yang sama.” Asistennya kembali membawa berita, sambil memegang kertas fax, ia menunggu.  Tiba-tiba, untuk pertama kalinya, Nur merasa jantungnya menari-nari. Padahal ia mau bertemu klien, bukan pacar. Nur hanya mengangguk. “Siapkan semua seperti biasa Mbak…” Ujarnya.
***
Lingerie kali ini berwarna hitam. Tapi bukan karena itu hati Nur terasa hitam, terasa gelap. Bukan pula karena kamar ini. Kamar super mewah dengan segala fasilitasnya ini ia tutup rapat-rapat jendelanya dan ia matikan semua sumber penerangan yang ada. Sekarang pukul 10 pagi, dan Nur masih meringkuk di ranjang besar itu. Masih mengenakan lingerie semalam, bahkan bau Hasto masih tertinggal. Bukan, bukan perlakuan Hasto yang menyebabkan ia begini, Hasto masih begitu manis, tak ada yang berubah. Tapi karena foto itu. Ah, entah kenapa ia begitu bodoh. Entah karena ia merasa diistimewakan, atau karena ia merasa sudah sangat akrab dengan Hasto, ia akhirnya memegang dompet yang terbuka itu. Disana, foto seorang wanita cantik dan anggun mengenakan kebaya berwarna ungu, di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki dan perempuan memakai baju berwarna senada.
“Keluargaku….” Ujar Hasto, ia berdiri di belakang Nur, mendekap tubuhnya. “Cahaya, istriku. Gendhis dan Panji, anakku, kembar.” Sambungnya. Jelas tersirat rasa bangga saat ia mengucapkan itu. Seketika tubuh Nur terasa dingin dan kaku. Perlahan diletakkannya lagi dompet itu. “Cantik…” Bisik Nur. Hasto tak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya meraih dompetnya dan mengecup bahunya. “Terima kasih”, lalu berjalan menuju pintu, menoleh lagi ke arah Nur dan berucap lirih “Maaf….”. Nur hanya bisa tersenyum. Apalagi yang bisa ia lakukan? Tak seharusnya ucapan maaf itu terlontar dari mulut Hasto karena ia memang tak punya salah apa-apa terhadap Nur. Meskipun memang, Nur jadi merasa kosong. Selepas Hasto pergi ia tutup semua jendela dan mematikan lampu, lalu meringkuk di atas ranjang itu. Ia merasa gelap, kosong. Cahaya…..nama yang begitu anggun, terhormat dan bermakna dalam. Ah, mereka memiliki kesamaan arti nama, namun dunia sangat jauh berbeda. Wanita itu pasti punya asal-usul, punya masa lalu yang indah, punya keluarga yang hangat…
Nur menarik selimut, badannya tiba-tiba menggigil, ia tersentak saat bulir air hangat mengalir di pipinya. Air mata. Sudah lama sekali ia tidak menangis. Badannya terguncang-guncang. Bantalnya basah. Ia nikmati tangisnya. Ia nikmati semua rasa sakit itu. Perasaan-perasaan itu, rasa kosong yang menyakitkan, membuat nyeri hatinya. Tidak lagi, ia tak mau lagi berharap. Tak mau tertipu perasaan. Cahaya, betapa ia menerbitkan cemburu yang besar di hati Nur. Tidak sekedar anggun dan cantik, tapi juga terhormat, dan ia memiliki Hasto yang begitu hangat. Badan Nur masih terguncang hebat. Ia tergugu. Ia ingin menyelesaikan tangisnya ini dengan sendirinya, dan terlelap. Dalam mimpinya ia menjadi Cahaya, dengan Hasto dan anak-anak mereka.
***
“Putuskan semua hubungan dengan Pak Hasto ya Mbak…” Pinta Nur kepada asistennya. “Saya mau semua akses ditutup”, sambungnya lagi. Asistennya menatapnya dengan bingung dan curiga.
“Apa Mbak Nur dikasari? Atau ada ancaman?” Tanyanya. Nur menggeleng.
“Saya cuma nggak mau bertemu lagi dengan dia….” Jawabannya mengambang. Asistennya melirik agendanya.
“Tapi dia sudah terlanjur menghubungi untuk bertemu lagi….”
“Di tempat yang sama? Jam yang sama?” Tanya Nur. Asistennya mengangguk. “Kapan?” Tanya Nur lagi.
“Besok Mbak..”
“Oke, tapi ini yang terakhir ya. Setelah itu tutup semua akses” Ujar Nur sambil meninggalkan asistennya. “oh iya” Nur berhenti sejenak “Besok saya nggak lama, jadi tolong supir menunggu”.
“Baik Mbak Nur.”
***
Hasto tidak terima. Ia masih ingin bertemu lagi dan lagi dan lagi. Nur juga. Bukan tubuhnya yang menagih, tapi hatinya. Jiwanya merindukan sosok seperti Hasto. Pertemuan ketiga melibatkan rasa, dan terasa lebih intim, lebih dekat. Nur masih bersandar pada dada bidang Hasto ketika ia terlonjak, dan teringat supirnya masih menunggunya. Tapi Hasto menariknya lagi. Nur tak kuasa menolak, ia juga menginginkannya. Ia sudah melanggar janjinya sendiri. Ia membahayakan dirinya dan asisten-asistennya. Tapi ia tak peduli, ia lelah dengan semuanya. Ia tak ingin lagi berpura-pura tegar. Hasto memintanya untuk selalu ada untuknya. Perjanjian tidak lagi melalui asistennya, tapi langsung dibuat saat itu juga, setelah pertemuan-pertemuan mereka. Ini melanggar peraturan. Asistennya tahu, tapi tak banyak berkomentar. Nur tahu, resikonya sangat besar membuka akses seluas-luasnya untuk Hasto. Ia tak mengenal siapa Hasto sebenarnya, yang ia tahu hanya ia merasa menemukan keluarga, menemukan kenyamanan, dan untuk pertama kalinya dalam eksistensinya, ia merasakan apa itu yang disebut bahagia.
***
Kali ini bukan kamar hotel yang menjadi tempat pertemuan mereka. Tapi di lobi hotel mewah ini. Bukan pertama kalinya Nur bertemu kliennya di tempat ramai dan terang begini, tapi biasanya ia dilindungi oleh asisten-asistennya. Kini ia hanya membawa dua asisten, perempuan dan laki-laki yang mengawasinya dari jauh.
Pukul delapan mereka berjanji. Bukan delapan malam, tapi delapan pagi. Hari ini hari Sabtu. Lobi tampak agak ramai karena weekend. Pukul delapan sudah hampir lewat sepuluh menit. Bukan hal yang biasa bagi Hasto karena ia selalu tepat waktu. Baru saja Nur akan meneleponnya ketika sesosok perempuan bertubuh tinggi, cantik dan chic berjalan ke arahnya. Langkahnya mantap tapi wajahnya menyiratkan keragu-raguan. Rambutnya dipotong pendek sebahu, ikal, dan tebal, warnanya hitam sama seperti warna rambut Nur. Matanya lembut dan hangat. Nur tak pernah lupa wajah itu. Wajah yang membuatnya merindu akan keluarga, membuatnya ingin memiliki Hasto. Cahaya.
Cahaya berdiri di depan Nur. Sikapnya tenang dan terkendali. Nur menatapnya, dan seketika ia terbayang wajah Gendhis dan Panji. Membuatnya merasa sebagai wanita terkutuk. Ah, ia tak suka perasaan ini. Lama mereka saling bertatapan. Cahaya berdiri, dan Nur duduk. Lalu dengan gerakan anggun Cahaya membuka tasnya dan menarik sesuatu. Pistol. Dada Nur bergemuruh kencang. Pojok lobi ini terhalang tanaman dan jauh dari lalu lalang orang.
“Kamu membuat keluarga saya berantakan.” Ujarnya pendek. Lalu Cahaya menarik pelatuk. Dor! Pistol berperedam suara itu melakukan tugasnya. Nur terkejut, sesaat ia tak merasakan apapun, tapi rasa nyeri di dada yang perlahan ia rasakan menyadarkannya. Ah, ini akhirnya. Ini adalah akhir perjalanannya. Seharusnya memang ia tak boleh merasakan kebahagiaan. Tak boleh memakai hatinya untuk merasa. Hasto, hasto selamat tinggal. Nur melihat perempuan itu, Cahaya, melangkah pergi meninggalkannya. Tenang, sangat tenang, menambah kekaguman Nur pada Cahaya. Memang seharusnya perempuan seperti itu yang pantas mendampingi Hasto. Bukan dirinya. Nur berusaha menarik napas, pandangannya mulai kabur, rasa sakit semakin menjadi. Cahaya sudah menghilang dari lobi. Kini ia megap-megap seperti ikan koi di halaman rumahnya. Rumah, tempat asisten-asistennya menunggunya pulang dan membawa rezeki untuk mereka. Nur merasa pipinya basah. Bukan karena rasa sakit, tapi karena penyesalan yang mendalam. Begitu banyak jiwa yang bergantung padanya. Setelah Nur tak ada, akankan anak-anak asistennya masih bisa melanjutkan sekolah? Masih bisa kah mereka tertawa? Akan kerja apa mereka?
Nur mengernyit, ia merasa malaikat pencabut nyawa sudah berdiri di sampingnya. Ia sudah siap. Ia memejamkan mata, tepat disaat ia dengar orang-orang berteriak dan derap kaki berlari menghampirinya. “ Nur, Nur!!” Hei, itu suara yang dikenalnya. Hasto. Nur tersenyum, lalu sunyi.  

Komentar

Postingan Populer