Sensasi Melahirkan Normal


Posted on koran Jawa Pos For Her, kolom Perempuan Bercerita edisi Minggu, 15 Januari 2011

Banyak teman saya yang setelah menikah menunda punya anak. Mereka takut melahirkan. Karena katanya melahirkan itu sakitnya minta ampun. Salah satunya si Melati (bukan nama sebenarnya). Dia bilang kalau kelak dia melahirkan, dia akan lebih pilih caesar daripada melahirkan normal. Karena kalau caesar tahu-tahu sudah keluar aja tu bayi. Ga pake perjuangan antara hidup dan mati. Yang benar saja, masa normal lebih sakit dari operasi?
Saat saya masih pacaran, saya banyak mendengar cerita tentang melahirkan. Yang mengejan sekuat tenaga lah, yang kalau merem waktu mengejan bisa buta lah, yang mengangkat (maaf) pantat waktu mengejan bisa sobek, vagina harus dijahit, dan macam-macamlah itu cerita, bikin ngilu dan takut melahirkan. Tapi memang dasar sifat saya, selalu penasaran akan apapun, begitu sudah menikah, bukannya takut saya malah pingin cepat-cepat merasakan sensasi melahirkan itu.
Seminggu tamu bulanan saya telat datang saya udah ribut, langsung ke DOSG dan hasilnya disuruh pulang sama si dokter: "Balik lagi minggu depan ya.." Kata si DOSG. Persis minggu depan saya balik lagi,i janin sudah usia satu bulan.
Sembilan bulan kehamilan saya lancar. Semua baik kecuali nafsu makan yang meningkat drastis. Hmm, sebenarnya tak masalah, cuma badan saya jadi melar dan naik 20 kilo dari berat badan semula. Plus omelan dokter :"Sudah, kamu ngga boleh naik lagi ini berat badannya!". Hehehe, saya cuma bisa nyengir.
Hamil 5 bulan saya ikut suami off road ringan di dekat rumah, juga plesir ke Jakarta naik mobil sendiri - dengan suami tentunya.
Hamil 6 bulan saya ikut kelas senam hamil. Menyenangkan karena di setiap akhir sesi ada relaksasi. Lampu diredupkan, matras dibentangkan, musik klasik dibunyikan, lilin aromaterapi dinyalakan, lumayan tidur setengah jam. Keluar dari kelas, bukannya segar saya malah mengantuk. Haha..
Umur kehamilan 7 bulan saya pegang kerjaan double karena teman sakit tifus dan harus opname seminggu. Bolak balik naik turun tangga dan lembur sampai jam 12 malam waktu mau THRan dan bonus akhir tahun.
Umur kehamilan 8 bulan posisi anak saya melintang. Saya harus menungging minimal 5-10 menit supaya si bayi bisa turun ke posisi siap dilahirkan. AKhirnya setiap habis shalat saya selalu sujud lebih lama dari biasanya.
Umur kehamilan 9 bulan lewat sedikit saya ikut suami ke kandang ayam peternak customernya. Ayamnya 58 ribu ekor dan saya keliling lihat semua ayam itu. Sorenya senam hamil, malam kontrol dan diprediksi dokternya anak saya akan mbrojol besoknya. Jam 3 dini hari, ketuban saya pecah.
"Bener kaaan, apa saya bilaaang"
Kata si dokter sambil tersenyum. Saya ikutan senyum melihat si dokter ganteng. Karena bukaan saya tidak maju-maju, diputuskan induksi. Mulai induksi pukul 10 pagi, dan tengah hari sudah mulai terasa kontraksinya. Sakitnya pelan tapi pasti. Semakin sakit setiap saat, dan semakin sering. Saya cuma bisa atur napas, positive thinking, dan tetap tenang (maksudnya mencoba mengingat apa saja yang sudah dipelajari di kelas senam hamil, tapi tetap saja susah :D).
This is it, ini yang dimaksud sakit karena kontraksi. Ini pertanda anak saya sedang mencari jalan untuk keluar dari dalam tubuh saya. Saya jadi teringat buku kehamilan yang saya baca. Sebelumnya saya memang sudah memutuskan sebisa mungkin akan melahirkan normal, dan konsekuensi atas itu juga telah saya pertimbangkan. Istilahnya menyiapkan mindset supaya ngga kaget. Bahwa ini adalah sebuah proses yang normal. Sakitnya memang seperti ini.
Jam tujuh malam sakitnya makin menjadi, rasanya ada sesuatu yang mendorong mau keluar, tapi belum boleh keluar. Setengah delapan si dokter masuk kamar bersalin, kontraksi semakin kuat. Satu orang suster mengukur bukaan. Sudah bukaan sembilan katanya. Saya terus berusaha mengatur napas. Dua suster lain masuk. Dokter anak masuk. Tiga suster dua dokter plus suami yang setia menemani saya. Terdengar suara si dokter memberi aba-aba, dan saya mengejan mengikuti intruksinya. Cuma tiga kali mengejan (thanks to kelas senam hamil), diseling minum jus sedikit, persis jam delapan malam, anak saya melihat dunia untuk pertama kalinya. Alhamdulillah.
Rasanya? Wiiihh jangan ditanya. PLONG.
Semua sakit hilang seketika, tak berbekas. Lega sekali. Saya dijahit sambil meneruskan minum jus dan ngobrol dengan suami. Cita cita IMD pupus karena bayi saya infeksi air ketuban dan harus diberikan penanganan secepatnya. Tapi saya bisa memberinya ASI dengan cara diperah (ASIP).
Kesimpulan saya, melahirkan secara normal jauh lebih tidak sakit dibandingkan dengan caesar. Semua rasa sakit itu adalah proses yang memang harus dijalani, dan itu normal. Satu hari setelah melahirkan bahkan saya sudah berjalan-jalan di mall mencari anting untuk bayi saya. Bayangkan kalau caesar. Bisa nggak ya?
Cuma memang butuh mindset dan kita memang harus siap mental untuk menghadapi proses normal tersebut. Banyak sharing dengan orang yang berhasil melahirkan secara normal. Banyak berkonsultasi dengan dokter. Mintalah dukungan dari orang terdekat: suami dan orangtua, terutama ibu. Mereka adalah sumber kekuatan terbesar.  Tak kalah penting, kondisi ibu dan bayi memang memenuhi untuk dilakukan proses kelahiran normal. kalau memang harus caesar (alasan medik), ya mungkin memang itu yang terbaik. Tapi kalau bisa melahirkan normal, kenapa tidak? :)





Komentar

Postingan Populer