Seputar Kota Tua

MUSEUM BANK MANDIRI

“ca, gue baru tidur jam tiga pagi. jamnya kita atur ulang aja ya. gue mau nerusin tidur sampe puas.”

D
R

lalu masuk sebuah balasan : “oke nin..”
mata saya pun kembali terpejam.

pukul setengah delapan saya terlonjak. siang betul jadinya saya bangun. bukan karena kadung janji, tapi saya sendiri juga ingin pergi.

hari ini kami akan pergi ke pelabuhan sunda kelapa. oke, saya akui, saya memang terprovokasi oleh foto-foto indah kapal-kapal kayu dengan latar belakang senja itu. penasaran ingin tahu seperti apa wujud aslinya. apakah memang indah atau si fotografer yang ahli mengutak-atik foto.

eniwei, begitu bangun setengah delapan itu saya langsung mengabari nisa kalau saya sudah bangun. lalu bergegas mandi dan siap-siap sambil bongkar lemari mencari ransel yang sialnya tidak ada. mengingat cuaca akan panas, saya pakai kaos oblong tipis bekas saya pakai tidur malam harinya, serta jeans yang digulung sebetis. tidak lupa tissue basah dan kering, payung, 1,5 liter air mineral (pakai tempat sendiri dong), ikat rambut, dan kamera tentunya.

setelah siap, saya periksa bbm. kok belum R. saya ping dia. beberapa saat kemudian dibalasnya: “ya ampun nin, gw baru bangun! yauda gw siap-siap trus meluncur deh..”

ternyata dia lebih siang bangunnya daripada saya… 

- -"

meeting point harusnya di halte transjakarta blok m. tapi, ada rasa takut yang tak bisa saya jelaskan saat harus naik angkot sendirian ke sana. mungkin efek lama sekali tidak ngangkot. jadilah kami bertemu di halte pondok pinang. dari sana kami naik metro mini nomor berapa saja yang bisa mengantar kami ke halte transjakarta blok m.
metro mini memang tak bisa diduga. begitupun dengan para pengamen jalanan. semakin canggih saja mereka. rasa-rasanya dulu jaman saya masih sering naik metro mini, belum ada yang ngamen pakai organ yang ditenteng. suaranya, ampun dijee, cempreng sungguh! saya duduk persis di samping dia saat perform. tapi menarik melihat jemarinya lihai menari di atas keyboard. penasaran ni orang bisa beneran atau karena terbiasa ya? tapi pun ada yang bagus (dan ganteng, beneran!). lagunya juga lucu, bikin senyum-senyum. saya gak bisa jaim, jadi saya senyum dan nyengir beneran, dan efeknya adalah si pengamen ngajak saya senyum terus…

“duduk di paling belakang, ca. gw mau nyuri-nyuri motret”, kata saya saat sampai di halte transjakarta blok m. lalu saat bis datang kami berlari-lari untuk dapat duduk di bagian paling belakang. setelah duduk, ditegur bapak-bapak dan si kondektur bis. jadilah kami pindah ke ruang khusus perempuan sambil bersungut-sungut. memotret pun urung saya lakukan karena ternyata tidak boleh kecuali kalau nggak ketahuan. akhirnya saya cuma memperhatikan jalan dan menghapalkan nama-nama halte yang dilewati.

bis transjakarta sangat sepi. mungkin karena kami naik setelah jam berangkat kantor dan sebelum jam makan siang. kebetulan kami dapet bis yang baru, panjang, (masih) bersih, dan dingin. perjalanan juga cepat sekali. gak terasa sudah sampai halte stasiun kota. kami turun dan melewati peta wisata kota tua, saya mengeluarkan kamera dan memotretnya. selanjutnya kami memutuskan untuk berjalan saja menelusuri jalan melingkar sambil melihat-lihat plang yang ada. eh, ada musisi yang mangkal di pojokan. ada organ, ada gitar, ada standing microfon, dan si bapak vokalis hanya tertawa saat saya meminta izin untuk memotretnya. jepret!



keluar dari terowongan, kami mengambil jalan ke kanan. melewati sebuah gedung tua besaaar, dan si bapak yang berjaga di depannya menawari kami untuk masuk. menawarinya dengan menggunakan sebuah TOA. MUSEUM BANK MANDIRI. ah, sudah sampai sini, kenapa nggak mampir sekalian? pikir saya. maka kami pun masuk. di depan loket, kami mengisi buku tamu. “ada atm mandiri?” kata si mas yang berjaga. kalau ada, masuknya gratis. kalau tidak ada, kena charge katanya. kebetulan saya ada. tapi mau saya keluarkan dia bilang tidak perlu. hmm, baik sekali si mas, kalau dibohongi pasrah saja berarti, hihihi.

di loket itu ada tiga orang yang berjaga. saya sempat bertanya pada salah satunya.
saya : “mas, masnya kerja di sini?”
mas2 : “iya mba, ini saya pake seragam tapi ga enak badan jadinya dirangkap sweater”
saya : “oooo, kasian sakit-sakit mesti kerja…”
mas2 : “hehehehe…” (nyengir)
saya : “mas, kita dipinjemin guide ga sih?”
mas2 : “ada sih mbaaa, cuma guide-nya lagi bertugas semua…”
saya : “oooo, tapi ga nyasar kan kalo keliling sendiri?”
mas2 : “engga mba, tapi kalo nyasar teriak aja”
saya : “…………….”
mas2 : “hehehe, engga kok mba becanda..”
saya : “serem ngga mas?”
mas2 : (langsung tertawa penuh arti)
saya : “ah, berarti serem niiihhh…”
mas2 : “engga kok mba..” (tetap sambil tertawa penuh makna)
saya : “yasudah, kita keliling dulu deh. makasih ya mas. eh iya, boleh motret ga?”
mas2 : “boleeeeh, ntar kalo ada guide kita kasih tau deh mba..”

lalu kami memulai petualangan di dalam museum bank mandiri.

bukan petualangan sih sebetulnya, karena yang kami lakukan hanya melihat-lihat. cekikikan sendiri memperhatikan bentuk-bentuk komputer jaman dulu. sampai kemudian kami terpisah karena saya terlalu asyik mencari objek foto sehingga nisa tertinggal.

“besok lagi bilang ah kalo mau kemana-mana, biar gue ga susah nyarinya”, protesnya. saya hanya nyengir.

kami bingung mau kemana lagi. mau ke atas takut nyasar. ke bawah takut hantu. akhirnya kami duduk di dekat loket sambil ngemil. si mas yang di loket melihat kami dan menawari.

“mbak, guidenya udah ada nih, mau ngga?”

tanpa berpikir kami mengangguk. lalu seorang mas mas usia pertengahan 20-an berkacamata bernama anggi menghampiri. nah dari situ baru dimulai perjalanan kami di museum bank mandiri.

bukan cuma barang-barang jadulnya yang membuat saya kagum. tapi juga arsitekturnya. gedung ini belum pernah dipugar ataupun direnovasi menurut informasi dari mas anggi. megah dan tinggi sekali. membuktikan bahwa semakin bumi menua, manusia semakin menyusut. manusia jaman dulu bisa sampai 2 meter tingginya. hal lain yang membuat saya kagum adalah buku besar yang ditulis tangan. bukunya memang benar-benar besar. tulisannya huruf latin seperti tulisan orangtua saya.

tiap ruangan ditata dengan sangat klasik. di salah satu ruangan direksi malah ada relief dewa dewi yang menjadi kepercayaan mereka jaman dulu. salah satu dewa adalah neptunus (atau zeus ya?), sedang dewi-nya saya kurang paham. lampu gantungnya indah sekali. langit-langit juga super tinggi.

mas anggi juga menjelaskan bahwa jaman dahulu, orang membawa uang dengan cara memasukkannya ke dalam peti yang digembok lalu ditandu. wow! apakah itu berarti jaman dulu lebih aman daripada jaman sekarang? membayangkan harus membawa peti besar berisi banyak uang melewati samudera membuat saya geleng-geleng kepala. resikonya pasti besar. dan petinya benar-benar besar terbuat dari kayu jati. peti yang dipamerkan bukan replika.

ruang safe deposit dan penyimpanan uang ada di bawah. dingin udaranya. dan langit-langitnya lebih rendah. pengamanannya berlapis. dan metode double key-nya juga masih diadopsi oleh SDB jaman sekarang. satu kunci dipegang nasabah, dan satu kunci dipegang pihak bank.

setelah puas melihat di lantai bawah dan lantai dasar, kami naik ke lantai atas menggunakan lift. iya, lift. usianya seumur dengan gedungnya dan masih berfungsi dengan sangat baik. selain lift untuk nasabah juga ada lift pengantar uang. jika ada nasabah menarik uang dalam jumlah banyak, maka uang itu akan dinaikkan lift khusus uang dari lantai bawah ke atas. tapi sayang lift uang sudah tidak berfungsi lagi.

di lantai atas adalah ruang pertemuan, aula, ruang-ruang direksi, ruang jamuan (makan malam atau makan siang) lengkap dengan alat makan yang ditata rapi. ruang jamuan itu diperindah dengan ukiran asli jepara, relief yang menceritakan mengenai kisah ramayana.

di sebuah ruang galeri, ada foto-foto kota tua jaman dahulu. cara pihak belanda menarik investor dari negara asing. mereka diberangkatkan dengan kapal pesiar merapat di pelabuhan sunda kelapa, lalu dibawa berkeliling kota dengan kereta, menunjukkan betapa megahnya batavia, sambil merayu, berharap sang prospektus mau menginvestasikan dananya di bank itu.

perjalanan kami berakhir di depan sebuah kaca patri besar. lima dibawah memanjang, dan lima di atas kotak kecil. menggambarkan empat musim di belanda. winter, spring, summer, fall. di tengah-tengah adalah ilustrasi indonesia lengkap dengan gunung apinya. saya suka sekali kaca patri besar ini. indah warna-warni.

“ada yang mau ditanyain ngga?” kata mas anggi. saya dan nisa bertatapan. sama-sama tahu apa yang harus ditanyakan tapi saling menunggu ada yang bertanya duluan. akhirnya saya yang buka mulut.

“mas, biayanya berapa sudah jadi guide kami hari ini?”

mas anggi tertawa terbahak-bahak. kami jadi salting. dia menjelaskan kalau dia gak memungut biaya. dibayar monggo, nggak ya gak apa-apa. dia meyakinkan kami bahwa tidak membayarnya tidak berdosa. tapi demi menghargai penjelasannya, akhirnya kami (nisa ding), menyelipkan selembar dua puluh ribuan ke tangannya. yang berkelebat di kepala saya adalah, berapakah honor orang-orang “penjaga” museum ini? berjasa sekali mereka menghapalkan sejarah dan membaginya dengan orang lain. pun bapak-bapak di depan tadi yang berteriak-teriak dengan semangat memakai TOA mengundang kami untuk masuk dan berkunjung, gratis pula! menilik dari penampilan mereka yang sederhana, saya rasa tidak banyak yang mereka terima. tapi ini dari kacamata sok tahu saya lho, saya belum melakukan riset tentang itu (halah!).

sebelum berpisah dengan mas anggi yang pintar tapi agak jayus itu, tidak lupa kami bertanya, bagaimana cara menuju pelabuhan sunda kelapa. naik ojek sepeda, katanya. tarifnya dua puluh ribu saja sampai dengan balik lagi. waaaww, kami bergegas mlipir ke masjid dulu untuk shalat, setelah itu setengah berlari mengejar waktu mencari ojek sepeda.


PELABUHAN SUNDA KELAPA
 
setelah shalat, kami bergegas mencari ojek sepeda seperti yang sudah diinstruksikan mas anggi, mantan guide kami di museum itu. tapi kok, nggak ada ya?

kami berjalan menelusuri pinggir museum, celingak celinguk, tapi tak terlihat tanda-tanda ojek sepeda. oke, ngangkot saja lah. naik metro mini nomor 02 jurusan muara karang, kata seorang bapak di pinggir jalan. itu lewat pelabuhan sunda kelapa. setelah menunggu beberapa lama, metro mini itu lewat. takut ketinggalan, kami berlari dan bergegas mengejarnya. tapi setelah kami naik, metro mini itu malah menepi dan ngetem. eaaa terus ngapain tadi kami pake acara lari-lari segala ya? lupa kalau ini jakarta, surganya angkot ngetem :p

setelah ngetem selama kurang lebih setengah jam dan merasakan panas seperti dipanggang di dalamnya, si angkot akhirnya jalan. si kondektur menagih ongkos dan saya bertanya:

saya: bang, ke pelabuhan sunda kelapa ngga?
abang: hah? sunda kelapa? ng, iya lewat neng, lewat, tar turun di pati
saya: (hah? pati? pati jawa tengah?) pati bang? ini lewat sunda kelapa ngga?
abang: iya lewat lewat (sambil tetap melaju menagih ongkos penumpang lain.
saya: .................................... (mau nyekek si kondektur rasanya)
kondektur: (berlalu)
saya: (berteriak) kita mau turun di sunda kelapa lho bang, jangan lupa!!!
duduk tak lama, di depan ada pertigaan.
abang: ayo yang sunda kelapa, sunda kelapa
saya: (celingak celinguk) mana sunda kelapa-nya bang?
abang: ke sana, ke sana, ini mau ke muara karang
saya: (aaargh, ga jelas pisaaan) muara karang?? kita mau ke sunda kelapaaaa
akhirnya ada bapak-bapak yang membantu
si bapak: turun di sini neng, ini angkot mau ke muara karang, si abangnya bohong itu, ga usah terus, turun aja di sini terus nyeberang
saya: oooh, yaudah. makasih ya pak. (sambil mikir, kok baru ngomong sekarang sih pak?))

lalu saya dan nisa setengah mati membelah jejalan manusia dan melompat turun. disambut oleh debu, pasir, panas, kendaraan yang saling serobot, lengkap bingungnya. kami menyeberang dan sekilas menangkap ada sepeda onthel diparkir dengan bagian boncengan diberi bantalan. tak salah lagi, itu pasti ojek sepeda.

kami menghampiri dan ternyata si tukang ojek sedang nge-teh di angkringan (uhuy, di jakarta ada angkringan juga). dia menawarkan untuk membawa kami memutari pelabuhan. karena tidak tahu medan, akhirnya kami menerima tawarannya. 15ribu untuk berputar-putar di sunda kelapa. ternyata tempat kami berdiri dengan pintu masuk sangatlah dekat. agak menegangkan juga naik ojek sepeda di antara para truk kontainer. tapi sepertinya para kontainer ini sudah terbiasa dengan adanya ojek sepeda. mereka selalu mengalah dan memberi kami jalan.

seperti apa sunda kelapa?

jujur saja, jauuuuh banget dari bayangan saya. kapal-kapal kayu yang bersandar ada sih. tapi saya tak menemukan romantisme kemegahan pelabuhan sunda kelapa waktu jakarta masih bernama batavia. yang saya temukan adalah pelabuhan yang masih berfungsi, dengan banyak kontainer, aktivitas bongkar muat, kru pelabuhan, kuli angkut, seorang ibu yang terkantuk-kantuk menjaga dagangannya di bawah selembar terpal biru, gudang, mandor, dan beberapa lembar pakaian yang dijemur di geladak kapal.

image


mungkin saya salah waktu. mungkin saya salah pilih jam berkunjung. seharusnya menjelang senja. seharusnya di hari libur. bapak pengojek sepeda sepertinya menangkap kekecewaan saya. maka dia berusaha menjelaskan macam-macam supaya saya masih dapat tetap menikmati pelabuhan itu.

oia, si bapak ojek sepeda, sudah 20 tahun tinggal di jakarta, dan 15 tahun menjadi ojek sepeda. aslinya pemalang, logatnya masih ngapak. dia menjadi lebih ramah lagi saat saya bilang saya dari yogya. dia lugu sekali. waktu pertama saya tanya tarif, dia bingung. dia bertanya dulu pada temannya yang juga sama-sama tak bisa menentukan. 15 ribu adalah tawaran saya yang di-iya-kan dengan ragu. karena tak puas, saya bertanya lagi, cukup ngga? dia mengangguk. cukup neng, cukup, katanya. setelah hampir selesai perjalanan kami, saya bertanya, bisakah kami diantar ke fatahillah? berapa tarifnya?
 
dia dan temannya saling berteriak. berapa? berapa? bingung. saya juga jadi bingung. tapi dia menyanggupi untuk mengantar kami ke fatahillah. sungguh, saya senang sekali naik ojek sepeda ini. bisa menikmati pemandangan gedung-gedung tua dan angin sepoi-sepoi. meskipun masih panas dan berdebu, sih. tapi wajarlah namanya juga wisata kota.

image

sampai di fatahillah, saya keluarkan uang 50ribu untuk mereka berdua. sempat terlihat raut kaget di wajah mereka. cukup engga? saya bertanya. dia menyahut cepat. cukup neng, cukup. sambil mengangguk-angguk. makasih neng, sambungnya lagi. teman saya berbisik sambil berjalan menjauh. nin, too much. saya tertawa, tak apa, cuma dilebihkan 5ribu saja tak akan membuat kita miskin. pun perjalanan kita akan semakin menyenangkan karena kita berhasil menyenangkan orang. bahagia itu bisa melihat orang lain bahagia karena kita. betul?

lain kali saya pasti balik lagi ke sana. di waktu yang tepat, tentu saja. untuk bisa menikmati kejayaan pelabuhan sunda kelapa di masa silam. mau ikut?

image


Komentar

Postingan Populer