Marriage Story

Saya nonton dua kali. Bukan, bukan karena filmnya. Tapi karena waktu nonton yang pertama banyak gangguan jadi nggak konsen. So, saya ulangi lagi dan untungnya yang kedua ini minim gangguan. 

Di banyak review yang saya baca, rata-rata penulisnya tidak setuju akan judulnya. Menurut para reviewer itu, film ini harusnya berjudul Divorce Story - karena sepanjang film memang menceritakan soal proses perceraian mereka -Nicole dan Charlie. Tapi saya jadi paham kenapa film ini diberi judul Marriage Story. Ya karena film ini memang justru menceritakan tentang pernikahan mereka. Di awal film, dibuka dengan narasi masing-masing menceritakan tentang apa yang mereka suka dari pasangannya. Dan itu cukup memberikan gambaran tentang keseharian mereka. Sepanjang fim pun ada detil-detil yang menggambarkan cerita kehidupan pernikahan. Kebiasaan-kebiasaan, panggilan yang digunakan, bahasa tubuh masing-masing, semua bercerita. So yes, I agree with the title. 

Tapi bukan itu yang membuat saya ingin membahas lebih dalam soal film ini. Bukan soal kesesuaian isi dengan judul. Sebagai seseorang yang pernah melontarkan permintaan cerai - untungnya gak jadi - saya seperti dibuka matanya melalui film ini. Perceraian itu tidak mudah. Proses perceraian itu sangat sangat tidak mudah. It is an option, yes. Tapi kalau kesalahan tidak fatal dan rasa serta komitmen itu masih bisa diperbaiki, pilihlah untuk tidak bercerai. 

Rasa sakit itu ada di keduanya. Bukan di salah satu. And it drives you crazy. Nicole, misalnya. Dia bersikap seolah-olah dia tegar dan bisa menghadapi semua. Tapi ya nggak gitu juga. Bayangkan kamu akan berpisah dengan orang yang sudah menjadi teman tidurmu selama bertahun-tahun. Orang yang hanya dalam dua detik sudah membuatmu jatuh cinta. Berat, jenderal. Tapi bagi Nicole, itu adalah satu-satunya jalan untuk dia terbebas dari Charlie, suaminya. Jalan untuk menjadi dirinya sendiri. Having a bit of earth to be hers. Sedangkan Charlie, bahkan sampai berkas perceraian disodorkan ke depan  hidungnya, dia masih berusaha untuk membicarakannya. Let's try to figure it out together, katanya pada Nicole. Dia merasa apa yang terjadi tidak perlu sampai pada perceraian. Dia bahkan tidak menyadari apa yang terjadi. Toh seberapapun Nicole berusaha, pada akhirnya bercerai adalah jalan yang terbaik. 

Sulit untuk tidak menganalisis film ini dengan pisau analisis feminis, secara lima tahun sudah saya berkecimpung intens dengan isu ini. Tentang laki-laki yang tidak menyadari privilege yang dimilikinya sehingga membuat si perempuan merasa tenggelam dan tidak terlihat lagi. Tentang semua hal yang menjadi keinginan si laki-laki, dan tentang semua hal yang menjadi keinginan si perempuan, yang dikesampingkan demi memenuhi keinginan si laki-laki. Tentang relasi yang timpang. Tentang komunikasi yang selalu tidak menemukan jalan keluar. Tahu film Kim Ji Young? Yang dialami si tokoh perempuan hampir sama, meskipun Nicole masih lebih beruntung memiliki kesempatan berperan di ruang publik dan belum mengalami gangguan mental. Tapi di sisi lain, suami Kim Ji Young lebih peka dan bisa melihat persoalan istrinya dari perspektif yang berbeda. Dia bersedia untuk bertukar tempat. Dia menyadari privilegenya. Tetapi tidak demikian dengan Charlie. 

Bagian paling menyakitkan dari film ini adalah ketika bahkan kesalahan-kesalahan kecil dapat dipakai untuk memberatkan di pengadilan. Kesalahan yang sehari-hari, yang kesannya seperti dicari-cari, dipakai untuk menelanjangi pribadi masing-masing. Menyakitkan karena hal-hal kecil itu diungkap ke publik. Membuat mereka saling menyerang satu sama lain dan kehidupan bersama selama bertahun-tahun, semua cinta itu, seolah sirna tanpa bekas. Padahal dari bahasa tubuh masing-masing, masih terlihat jelas cinta itu. Bahkan sampai akhir film.

So yes, this movie is worth to watch. Nonton di tempat sepi bebas gangguan. Rasakan pedihnya. Rasakan ironinya. Sadari bahwa nggak ada rasa lega, nggak ada rasa anti klimaks. This movie is just......real.


-Redbean

Komentar

Postingan Populer