Amsterdam Yang Dingin Tapi Ngangenin

Waktu itu bulan Oktober.

Di tengah-tengah deadline yang mengejar dan usaha memeras otak yang sia-sia, google membawa saya pada hasil dari kata kunci yang dengan begitu saja saya ketik: HUMAN RESOURCE SHORTCOURSE. Mata malas saya menggerayangi satu per satu hingga satu hasil menarik minat saya untuk menelisik lebih jauh.

Shortcourse itu bertajuk “Human Resource for Health”. Bukan, bukan di Universitas ternama di Belanda. Bukan Leiden atau Wageningen. Bukan pula Maastricht yang terkenal dengan ilmu manajemennya. Tapi di KIT Royal Tropical Institute (www.kit.nl). Saya juga baru dengar ini sih sebetulnya :D Tapi materinya sungguh pas dan komplit dengan apa yang saya cari-cari. Terlebih, karena ini insitusi kesehatan, materinya dititikberatkan pada Manajemen SDM di organisasi kesehatan. Tujuannya supaya para pekerjanya ndak ikutan sakit, baik fisik maupun mental, dan para Manajer SDM lah yang dapat membantu mewujudkan hal tersebut: dengan mengembangkan sebuah sistem SDM yang menyehatkan.

Ajegile bahasanyaaaa….

Eeeniwei, singkat cerita, masuklah saya ke website-nya KIT. Lalu baca syarat-syaratnya. Cukup simple sih ternyata. Kita diminta untuk masuk ke ATLAS, itu kaya semacam sistem pendaftaran online. Siapkan scan Paspor, skor TOEFL/IELTS, transkrip nilai dan ijazah, CV, dan Motivation Letter. Lalu jika lolos, kita akan mendapatkan Unconditional LoA. Di LoA yang diberikan oleh KIT saat kita lolos seleksi masuk sangat jelas instruksinya jika kita ingin mendaftar beasiswa NFP (Netherland Fellowship Program). Kalau mau mendaftar NFP, (atau beasiswa Stuned) salah satu syaratnya adalah harus lolos dulu seleksi untuk masuk ke Universitasnya. Dan itulah yang saya lakukan. Daftar dulu ke KIT –> Dapat Letter of Unconditional Admission –> Daftar NFP

Lama waktu antara pendaftaran hingga mendapatkan LoA sekitar 4 bulan. Lama waktu antara pendaftaran beasiswa hingga pengumuman sekitar 4 bulan juga. Oia, NFP adalah singkatan dari Netherland Fellowship Program. Beasiswa langsung dari Pemerintah Belanda yang dikelola oleh kantor Neso di Belanda (bukan di Indonesia). Kalau Stuned kebanyakan buat PNS atau dosen, NFP ini lebih diperuntukkan para pekerja sosial atau yang bekerja di organisasi nirlaba. Jangan lupa siapkan rencana tindak lanjut jangka pendek dan jangka panjang dengan target yang measurable, juga permasalahan yang kamu hadapi (yang relevan dengan pekerjaan), dan implikasinya pada masyarakat luas.Motivation letter juga penting. Buatlah sejelas mungkin dengan jumlah kata yang terbatas. Pikirkan juga dua orang yang bisa dimintai rekomendasi. Biasanya juga akan diminta surat keterangan kerja, dan surat pernyataan masih menerima gaji dari institusi tempat kita bekerja.

Setelah itu selesai, kirim, lalu lupakan.

Kalo saya sih betul-betul lupa. Heeeu.

Sampai pengumuman itu datang via email bulan Januari akhir. Di commuter line yang penuh sesak saya membaca pengumuman itu dan setengah gak percaya bahwa saya lolos. Saking lupanya, saya sampai tanya sama orang yang mengirim email (namanya Rinia, course administrator KIT), NFP itu beasiswa apa dan apa saja yang dicover. Haha, dodol bener.

Setelah itu saya diminta untuk mempersiapkan segala macam yang dibutuhkan (termasuk pengajuan visa) dalam waktu 30 hari saja. Pengajuan visa saya berjalan mulus dengan berbekal LoA, surat keterangan lolos beasiswa, tiket pulang pergi, dan asuransi. Semua disiapkan oleh pihak Universitas. Satu minggu kemudian visa saya jadi. Visa ini gatis ya. Ga kalah heboh juga tetek bengek pakaian yang akan dibawa, secara waktu saya ke sana sedang musim dingin dengan suhu tertinggi 5 derajat celcius. Thanks to Toko Djohan, saya dapat semua yang saya butuhkan. Meskipun cuma sedikit sih, kebanyakan saya beli di sana karena bahannya lebih sesuai untuk menahan cuaca dingin di sana (termasuk boots). Lalu sempat juga heboh karena lupa menukar uang rupiah ke euro, yang akhirnya saya lakukan hanya beberapa jam sebelum keberangkatan. Pokoknya begitu deh, meskipun sudah bikin timeline, tetap saja rasanya ada yang terlewat. Selama rentang 30 hari itu email-email dari KIT berdatangan. Jadwal kelas, materi yang akan dipelajari, bahan-bahan bacaan, info tiket, penginapan, dan lain-lain. Sebaiknya sih kita awas dengan email-email tersebut karena akan berguna saat kita sudah tiba di sana.

Dua hal yang meresahkan saya sebelum berangkat:

1. Naik pesawat 16 jam non-stop
2. Cuaca dingin

Saya takut tinggi. Otomatis saya takut terbang. Dan informasi 16 jam di pesawat yang terbang puluhan ribu kaki lintas benua sama sekali tidak menyenangkan. Kepala saya penuh dengan “bagaimana jika”, yang ternyata, semakin banyak “bagaimana jika”, semakin membuat saya resah. Percakapan dengan kawan saya si Wika yang terpisah jarak ribuan mil dan beda waktu hampir 24 jam juga tidak menolong. Akhirnya, karena pikiran saya disita macam-macam di luar mikirin terbang 16 jam, semua rasa takut dan gugup berkumpul di hari keberangkatan. Untung banget ada barengannya, dan dia tampak seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya, haha. Tapi begitu sampai di atas, yasudah, saya cuma bisa pasrah (ya iyalah, mau ngapain lagi coba). Pesawat transit selama satu jam di Malaysia, lalu melanjutkan 14 jam berikutnya menuju Belanda. Perkiraan dan ketakutan saya sama sekali tidak terbukti. Pesawat terbang mulus hampir tanpa turbulensi, entah karena pilotnya cerdas atau karena pesawatnya super canggih. Saya naik KLM, maskapai kerajaan Belanda - setidaknya begitu taglinenya. Royal Dutch Airlines. Jarak antar kursi ga terlalu lebar sih, tapi untuk saya yang berukuran mini, cukup nyaman lah. Kalau mereka yang kakinya panjang sepertinya ga akan terlalu nyaman. Sejujurnya, tadinya saya berharap dapat pesawat Garuda. Karena pramugrarinya pasti bisa bahasa Indonesia dan akan lebih mudah kalau tiba-tiba saya mengalami phobia akut di atas. Tapi ternyata tidak. Pengalaman pertama naik KLM oke lah. Oke banget. Bukan iklan ya. Heu.

Sedikit tips:
  1. Sering-sering berdiri dan jalan mondar-mandir di pesawat untuk mengendorkan otot dan peredaran darah. Senam-senam kecil juga memungkinkan kok. Setidaknya 3 jam sekali lah, sambil ke toilet.
  2. Banyak-banyak minum. Karena suhunya dingin, jadi nggak terasa kalau haus. Bahayanya bisa dehidrasi. Terus, kalau mau pipis jangan ditahan-tahan. Jangan males bilang permisi sama orang di sebelah kalau pas kita dapat duduk di depan jendela.
  3. Gunakan baju dan alas kaki yang nyaman. Saya pakai kaus lengan panjang dan jeans. Juga jaket. Alas kakinya pakai sepatu lari biasa dengan kaus kaki. Di pesawat, jaketnya jarang saya pakai. Sepatu juga kadang saya lepas supaya jari-jari bisa gerak-gerak. Tapi kalau terasa dingin ya dipakai lagi.
  4. Bawa bantal leher. Sayangnya pas berangkat saya kelupaan, pas pulangnya saya beli di bandara Schipol dan tidur saya lumayan lebih berkualitas dibanding waktu berangkat.




Informasi cuaca yang disampaikan pilot sesaat sebelum mendarat kurang lebih begini:

The weather in Amsterdam is…. brrrr….cold”. Kebayang kan? Orang sana aja bilang begitu, hahaha.

Untuk cuaca dingin, saya banyak browsing blog-blog orang-orang. Saya juga tanya sama Wika yang sedang berada di negeri Paman Sam tentang apa saja yang harus saya bawa. Yang wajib: thermal coat, longjohn, sarung tangan, kaus kaki, tutup telinga, boots. Saya juga bawa tank top 3, legging wool 3, celana jeans 2 (sama yang saya pakai), kaos oblong dan celana panjang untuk tidur, dan baju/kemeja panjang. Sampai di sana, saya beli beberapa sweater dan baju-baju lengan panjang yang ternyata bahannya lebih ampuh buat menghalau udara dingin di sana (padahal sekilas tampaknya sama saja dengan yang ada di Indonesia). Zara, H&M, Mango, Forever 21, Bershka, cukup murah, berkisar antara 5-12 euro saja (jangan dikalikan kurs Indonesia, ya). Sehari-hari saya pakai baju 4-5 lapis. Pakaian dalam, tank top, longjohn, kaus, sweater, dan long coat. Di dalam ruangan, long coat akan dibuka, tapi buat saya yang terbiasa dengan iklim tropis yang panas, tetap saja dingin. Saat keluar pesawat, dengan baju biasa yang saya pakai, rasanya seperti masuk ke dalam kulkas. Serius!

Saya juga selalu bawa lipbalm dan handcream ke mana-mana. Kapanpun, di manapun terasa kering, harus langsung dipakai. Saya bawa Vit. E lipbalm BodyShop dan handcream dari merk yang sama. Nggak beli baru karena kebetulan itu juga yang saya pakai sehari-hari untuk melawan keringnya AC kantor. Pelembab wajah juga saya pakai Vit. E dari BodyShop, plus tabir surya dari dokter (yang ini emang sehari-hari saya pakai juga). Oia, ini juga bukan iklan. Heu. Untuk menjaga daya tahan tubuh, saya beli vitamin C effervescent di sana. Soalnya hujan sering datang, baik hujan air, hujan salju, maupun hujan es. Kebayang kan sudah suhunya di bawah 5 derajat celcius, masih ditambah hujan pula.




Gloomy banget ya, berasa di film horror.


Lalu apa saja yang saya pelajari di sana?

Ini dia mata kuliah-mata kuliah yang saya pelajari di sana:


  1. Introduction to Human Resource for Health
  2. Organisational Analysis and Culture
  3. Organisational Behaviour and Change
  4. Performance and Motivation
  5. Personal Effectivenes in Organisational Changes
  6. Personal Effectiveness: Leadership and Team Building
  7. Retention and Migration
  8. Workload Assesment
  9. HRH and Governance
  10. Training: From Performance Analysis to Curriculum Design
  11. HRH and Gender
  12. Strategic Planning in HRH

Modul Human Resource for Health ini adalah bagian dari modulnya WHO. Jadi sangat spesifik untuk organisasi kesehatan. Juga bagian dari Modulnya anak-anak yang kuliah MPH (Master of Public Health) dan MIH (Master of International Health), jadi kuliahnya ya bareng anak-anak (yang ambil program) Master itu. Metode belajarnya menyenangkan banget. Vibrant dan aktif. Kita digiring pada permasalahan yang ada dan “dipaksa” untuk mencari alternatif solusinya. Model pembelajarannya dua arah, dan ga ada kata segan untuk menyatakan ketidaksetujuan kita pada pendapat dosen. Kita bebas berargumen dan dosen ga akan ada yang marah atau ngambek kalau ada murid yang ga sependapat dengannya- asal justifikasinya jelas. Singkatnya,you are free to say agree or not agree, but you need to explain why - and noone will judge you.

Di sela-sela materi di atas, ada kalanya kita diminta untuk mendengarkan presentasi orang-orang yang pada mau ujian doktoral. Materinya kemarin sih ada tentang HRH and Financing, dan juga HIV/AIDS. HRH and Financing ini banyak yang gak suka, karena mereka berpikir ga ada sangkut pautnya antara HR dan Finance. Tapi menurut pengalaman saya sih erat banget kaitannya. Saya sering koordinasi dengan Koordinator Keuangan di kantor tentang program-program HR yang saya buat. Darimana dananya untuk menjalankan program tersebut? Apakah masuk akal budget yang saya ajukan? Dll, dsb. Kalau level yang lebih tinggi lagi, bisa saja kerjasamanya antar Kementerian.

Saya juga dapat tools yang membantu banget buat menghitung workload. namanya WISN. Tools ini dikembangkan oleh WHO untuk menghitungworkload para tenaga kesehatan. Mengetahui workload tiap jabatan membuat kita bisa menghitung berapa orang sebetulnya yang kita butuhkan dalam satu RS atau Klinik. Juga bisa dikembangkan untuk memperkirakan stres yang bakal dialami oleh para tenaga kerja kesehatan itu. Tapi belum saya coba aplikasikan di organisasi saya sih.

So sedikit tips, siap-siap untuk menghadapi teman-teman sekelas yang vokal dalam berpendapat, dan siapin argumen untuk menjelaskan pendapat kita. Meskipun bahasa kadang jadi kendala, tapi mereka mau mendengar kok. Jangan takut untuk berbagi pengalaman  juga, karena sebetulnya itu yang paling berharga: saling berbagi pengalaman bareng teman-teman dari belahan dunia yang lain. Ketemu sama orang-orang yang sama sekali berbeda dari kita dengan segala "penampakan" dan ekspresinya.


Tentang transportasi,

Beli kartu untuk naik trem yang bisa diisi ulang (top up). Belinya kalo saya sih di depan Amsterdam Centraal. Di bangunan berwarna putih. Harganya lupa, berkisar antara 7 - 12 euro kalo gak salah. Kartunya warna biru muda dan masa berlakunya lama sekali. Sebetulnya bisa juga beli yang harian sih, tapi terasa lebih murah kalau beli yang bisa di top-up itu. Kartu itu bisa digunakan untuk semua transportasi di Belanda. Trem, kereta, bis. Praktis. Jangan malu bertanya juga tentang jalur-jalur trem ke tempat tujuan kita. Malu bertanya bener-bener sesat di jalan deh.

Soal trem, ini kan alat transportasi umum utama di kota Amsterdam ya, jadi kalau ndak ada ini, orang-orang pada gusar. Saya pernah suatu pagi, kuliah hari itu diisi oleh dosen yang cukup senior dan pernah jadi senior advisor di WHO. Enggan terlambat, saya berangkat pagi-pagi. Tapi ternyata jalur trem yang biasa saya naiki mogok karena ada perbaikan rel atau arus listrik. Dyarrr! Akhirnya saya, dua teman dari Indonesia, satu dari Belgia, dan satu dari Kenya harus berjalan mungkin sejauh 6 kilometer (atau lebih) ke kampus. Semua juga demikian, dan bahkan ada yang tidak jadi masuk. Mereka tergantung sekali dengan segala keteraturan, dan ketika yag teratur itu menjadi tidak teratur, mereka gusar. Tapi memang tidak semua sih, ada juga yang kemudian berjalan bersama kami. Yang paling “menyenangkan”, sampai di kampus, ternyata kuliah diundur 30 menit tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ahahaaaaay, dengan masih ngos-ngosan saya spontan mengucap: Shit!! (yang kemudian diamini oleh seorang teman dari Nepal: yeah, shit..)


Tentang Penginapan,

Hotel saya sudah di-arrange oleh pihak kampus. Lokasinya di Amsterdam West. Hotelnya namanya The Student Hotel. Tampaknya sih memang dirancang untuk mahasiswa. Saya dapat kamar tipe Standard Plus. Nyaman banget. Bed ukuran 140 x 200, meja belajar, lemari pakaian, pemanas, dan kamar mandi. Dapat sharing kitchen untuk sekitar 10 kamar, dan ada yang namanya piket cuci piring (Dishwasher Duty). Tenang, dishwasher duty-nya pakai mesin kok. Jadi kita tinggal masukkan tablet cuci piringnya, pencet-pencet tombol, lalu muter sendiri deh. Kita tinggal saja selama kurang lebih 2-3 jam. Dan voila! Semua sudah bling-bling dan siap untuk ditaruh di rak-raknya. Sharing kitchennya berukuran besar, dengan jendela yang juga besar. Menyenangkan, masak bareng teman-teman dari seluruh dunia dan mencicipi apa yang mereka masak. Teman-teman baru ini juga “hobi” melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang ajaib dan tak terduga dan kita harus siap dengan jawaban yang “cerdas”. Kadang-kadang juga ada orang yang dengan menakjubkannya tahu banyak tentang Indonesia. Seperti Patrick dari Switzerland (fyi, mirip banget sama Tom Cruise), dia bahkan tahu tentang pulau Jawa, instead of Bali yang sangat populer di mancanegara. Saya juga ketemu sama seorang kandidat doktoral yang kenal sama Programme Manager saya yang orang Perancis. Ha, bahkan setelah melintasi benua, dunia ini tetap saja terasa kecil.

The Student Hotel ini punya perpustakaan yang nyaman banget buat belajar dan hampir ga pernah sepi. Waktu mau ujian, saya belajar sampai jam tiga pagi dan masih saja ramai. Ramai tapi sepi, karena semua sibuk dengan buku atau laptop masing-masing. Ada gym juga dan meja pingpong. Ada lounge dan meja billiar, dan restoran yang sangat terjangkau. Ada laundry juga tapi dengan biaya tambahan. Untuk mereka yang tinggal lebih dari dua minggu, ada sepeda gratis yang bisa dipakai. Menyenangkan!


Tentang Jalan-jalan,

Sudah sampai sini mosok nggak jalan-jalan? Begitu kata teman saya Kak Erika. Di Amsterdam, bertebaran counter-counter yang menawarkan paket trip atau paket masuk museum. Namanya Tour and Travel. Warnanya merah dan mudah terlihat di mana-mana. Paketannya banyak, tinggal pilih aja. Kalau nggak ada, baru deh arrange sendiri. Tapi harganya memang cukup menguras kantong sih. Kalau soal jalan, sebetulnya Amsterdam itu kotanya nggak seberapa besar. Bisa juga naik bis hop on hop off, bisa berhenti sesuka kita dan naik sesuka kita dalam satu hari itu. Kemarin saya lebih banyak jalan di daerah Dam, pusat kota Amsterdam. Ada satu toko waffel yang jadi favorit, di pojok jalan. Sayang saya lupa namanya. Tempatnya kecil saja, tapi waffelnya enak banget, apalagi ditambah topping Nuttela. Nyam.

Saya juga sempat ke Sex Museum. Kenapa? Karena saya penasaran, itu saja. Kenapa sih sampai repot-repot mau membuat museum untuk seks? Sudah masuk, berkeliling, pun saya masih nggak paham kenapa museum ini dibangun. Mungkin untuk merayakan naluri paling tua yang dimiliki manusia? Entahlah. Yang jelas, gak mungkin ada di Indonesia. Jangankan bentuk fisik museumnya, baru wacana saja pasti sudah “digerebek” sama FPI. Haha. Di Dam saya juga berkunjung ke Madame Tussaud Museum dan berfoto bersama Messi (yang akhirnya dengan susah payah saya berhasil berfoto dengannya setelah bersaing dengan para cowok-cowok yang dengan “beringasnya” berebut foto bersama idolanya itu). Ada tokoh favorit saya juga: Anne Frank, yang sayangnya tidak sempat saya kunjungi rumahnya. Selain Sex Museum, saya juga pergi ke Tropenmuseum karena di dekat kampus. Tropenmuseum ini adalah sebuah museum antropologis. Ada banyak tentang Indonesia di sana yang sempat membuat saya emosi sampai agak berdebat dengan petugasnya perihal tujuan Belanda menjajah Indonesia. Kayanya sih museum ini menyimpan segala pernak pernik budaya negara-negara yang pernah menjadi koloninya Belanda gitu deh. 

Untuk belanja baju, Dam ini pusatnya. Jangan jiper dulu, baju bermerk dengan harga 5 euro bisa dengan mudah kita temukan. Apalagi kalau lagi diskon. Beli oleh-oleh juga di Dam, harganya murah-murah. Tapi sekali lagi, jangan dikalikan dengan kurs rupiah ya, hehe. Saya juga sempat ke Red Light District yang bagi saya, sebetulnya, gak menarik sama sekali. Karena itu kunjungan ke sana lebih berupa “sudah dekat ke sana, sekalian saja”, dan gak dimaksudkan untuk khusus ke sana. Itupun karena ada sepupu saya yang jadi “guide”. Tarif mereka rata-rata 50 euro per 15 menit. Saya dan sepupu saya sempat membahas itu dan tertawa-tawa. 15 menit dapat apa? Cuma kenalan doang. Kalau mau lebih, ya bayar lebih. “That’s why I never been there” kata sepupu saya, “It’s expensive”, katanya sambil bergurau. Sore itu kami bermaksud mengunjungi gereja-gereja tua, tapi karena sudah terlalu sore, gereja-gereja itu sudah tutup. Akhirnya kami menikmati sore dengan mengikuti Kanal Tour. Menyusuri kanal-kanal usia ratusan tahun dengan boat beratap transparan. Saya membayangkan, seandainya musim panas, pasti akan sangat indah sekali.

Satu hari sebelum ujian, saya ambil paket tour ke Volendam demi memuaskan hasrat Kak Erika berfoto dengan baju tradisional Belanda. Saya? Menikmati pemandangan saja sambil makan ikan hering yang termashyur itu. Sambil belanja oleh-oleh ini itu dan juga keju tua yang rasanya bikin ketagihan.



salah satu kafe di pantai-nya Amsterdam

Pemandangan dari kamar hotel







Saya selalu kangen sama Amsterdam. Selalu ingin balik lagi ke sana. Mungkin tahun depan. 

Aamiin ya Allah. 

-Redbean

Komentar

Postingan Populer